QBeritakan.com - Pak Tengkop adalah petani holtikultura. Dia bukan petani biasa. Kebunnya bukan di tanah subur, tapi di tanah berbatu yang bahkan kambing pun ogah lewat.
Tapi Pak Tengkop bukan tipe yang gampang menyerah. Dengan pengalaman, tekad kuat, ditambah ilmu dari YouTube, dia berhasil membuat pupuk kompos dari sisa daun, limbah dapur, dan sedikit rahasia dapur lainnya. Setiap pagi dia menyapa tanamannya dengan senyum dan mantra harapan:
“Tumbuhlah, meski negara lupa kau ditanam.”
Dan hasilnya? Ajaib. Di tengah kebun-kebun gersang, kebun Pak Tengkop hijau menyala. Tomat, cabai, kangkung hingga semangka semuanya subur seolah tanah itu disiram hujan do'a.
Namun, ada satu hal yang selalu bikin hati Pak Tengkop terasa ‘pupuknya kurang’. Ia tidak pernah terdaftar dalam kelompok tani, karena katanya dulu waktu pembentukan, ia sedang sibuk… mencangkul hidup.
Akibatnya?
Setiap kali ada bantuan pupuk, bibit, pelatihan, hingga proposal bantuan lainnya, nama Pak Tengkop selalu terlewatkan. Seolah ia petani ilegal di tanah sendiri.
Tapi tunggu dulu…
Suatu hari, tim dari dinas pertanian datang bawa kamera, clipboard, dan wajah serius. Mereka mendatangi kebun Pak Tengkop sambil menunjuk-nunjuk:
“Ini luar biasa ya, hasil dari program kita ini.”
Pak Tengkop bingung.
“Program apa ya, Pak? Ini pupuknya saya bikin sendiri pakai limbah rumah tangga,” katanya.
Tapi kameramen sudah merekam, dan di balik senyuman tim peninjau, terdengar suara narasi:
“…berkat program bantuan dan pendampingan, petani seperti Pak Tengkop berhasil mandiri dan meningkatkan hasil panen.”
Pak Tengkop hanya bisa tersenyum kecut sambil menulis di papan kecil di kebunnya:
“𝙏𝙖𝙣𝙥𝙖 𝙗𝙖𝙣𝙩𝙪𝙖𝙣. 𝙏𝙖𝙣𝙥𝙖 𝙠𝙚𝙡𝙤𝙢𝙥𝙤𝙠. 𝙏𝙖𝙥𝙞 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙩𝙖𝙣𝙥𝙖 𝙝𝙖𝙧𝙖𝙥𝙖𝙣.”
Pesan Moral:
Inovasi bisa lahir dari keterbatasan. Tapi jangan biarkan sistem hanya mengakui yang “terdata”, sementara yang benar-benar bekerja justru jadi hiasan narasi. Bantuan harus menyentuh, bukan cuma dipotret.
#PetaniTanpaNama
#CeritaPakTengkop
#BantuanTakTepatSasaran
#KebunMandiri
#InovasiDariDesa