QBeritakan.com - Setiap orang punya kisah cinta yang unik. Ada yang penuh warna-warni bahagia tapi ada juga yang diselimuti duka. Bahkan ada yang memberi pelajaran berharga dalam hidup dan menciptakan perubahan besar.
Setiap kisah cinta selalu menjadi bagian yang tak terlupakan dari kehidupan seseorang. Seperti halnya kisah mencintai seorang putri dari negeri dewa-dewa yang sedari masih di bangku SD hingga SMA, bahkan sampai hari ini di usia penulis 42 tahun.
Jika otakku memiliki recyle bin, tentu saja kisah ini tak ingin aku kenang selamanya. Yah itulah ungkapan atas besarnya rasa cinta penulis kepada nya, cinta yang mustahil dan hanya menjadi pemuja rahasi 30 an tahun yang pada ahirnya bisa memadu cinta lalu terdegredasi kembali oleh keadaan yang tidak berpihak yang ahirnya harus ihklas untuk merelakannya kembali mencari kebahagian bersama yang lain.
"Yah 30 tahun bukan waktu yang sebentar untuk sebuah penantian panjang untuk memiliki sang pujaan hati, waow cinta macam apa ini"
Sepertinya kisah ini menarik pikirku sambil melirik narasumber yang sedang menghela nafas dalam, seperti sedang mengurai sesuatu yang sangat besar dan dalam.
"Dia Gadis desa yang sangat cantik, kecil mungil periang dengan rambut kepang kuda serta lesung pipit dan gigi kelinci, sungguh begitu sempurna untuk ukuran anak desa
"
"Kucoba untuk kembali, Kembali kemasa jiwa belum terkotori noda-noda kehidupan menghitam Yang membuat kusam lembaran putih pemberian tuhan.
Aku adalah anak desa kecil bertelanjang dada Berbau masam tanah rimba belantara Menghirup udara yang berputar-putar diantara pepohonan tinggi menjulang, Begitu riang melompat-lompat menaburi tanah desa dengan canda tawa.
Aku adalah anak desa kecil tak pernah mengenal gemerlap hidup kota, Gemerlap yang menyimpan selaksa dusta, Gemerlap yang berikan janji-janji hitam, Gemerlap yang kusamkan lembaran putih pemberian tuhan.
Aku adalah anak desa kecil memiliki cita putih seputih bulan purnama yang tergantung indah disudut langit desa.
Memiliki cita pada gadis kecil bertopi lebar yang menari-nari dirimbun pohon-pohon batas desa.
Gadis kecil yang cantik jelita bagai putri dari negeri dewa-dewa.
Menabur cinta pada bunga-bunga, pada pohon-pohon, pada burung-burung, pada semilir angin pucuk daun
Ah, aku iri pada itu semua, Aku iri pada bunga-bunga, aku iri pada pohon-pohon, aku iri pada burung-burung, aku iri pada semilir angin, Aku iri karena putri tak melihatku disini, dipunggung sapi gembala, Aku iri karena putri tidak menari-nari menabur cinta disini, dihamparan hijau rumput desa, Inginku menjadi bunga-bunga, agar putri mencium harumku, Inginku menjadi pohon-pohon, agar putri mengajakku menari-nari, Inginku menjadi burung-burung, agar kicauku damaikan hati sang putri, Inginku menjadi semilir, agar dapat membelai indah rambut sang putri
Inginku menjadi segala, agar putri menabur cinta padaku.
Ah, aku harus kesana, ketempat putri bersenandung damai kehidupan desa
Ketempat putri menari-nari dengan sejuta damai, dengan sejuta rasa.
Namun aku hanya terpesona disini, dibalik daun talas tepi parit berlumpur nodai kaki celana, Aku tak kuasa menyibak daun ini, melangkah kesana mengucap cita, memegang tangan sang putri menabur cinta bersama.
Aku hanya mampu terpesona dan terus akan menjadi pesona Hingga kini dan sampai kapanpun juga. Bersambung