QBeritakan.com - CACAT MORAL AMANGKURAT I | Pangeran Adipati Anom, demikian gelar Raden Mas Sayyidin sebelum menjadi Sunan Amangkurat I, anak raja gung binathara Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Dalam banyak literatur Amangkurat I (1619-1677), dikenal sebagai raja Mataram yang lalim, kejam. Konon membantai 5000-an lebih ulama. Jejak sejarahnya, memang adigang-adigung-adiguna sejak remaja. Mungkin karena ia anak penguasa. Penguasa tak terbantahkan, karena ia adalah hukum itu sendiri, yang bisa dibolak-balik sesuka hati. Nggak peduli pantes atau tidak, kalau misal ia mau mengkampanyekan dirinya juga boleh.
Dalam usia 18 tahun, ia menculik isteri Tumenggung Wiraguna, panglima perang dari ayahandanya. Menikahinya diam-diam, di luar pengetahuan Sultan Agung. Para telik sandi mungkin mengetahui, tapi tak berani memberitahukan. Apalagi ketika ada yang memberanikan diri melaporkan, dianggap kurang pikir. Setidaknya, dalam interpretasi Graaf, Sultan Agung khawatir hal itu akan berefek negatif pada elektabilitas putra mahkota.
Beberapa penasihat Sultan Agung hanya menyarankan agar gelar putra mahkota diberikan kepada Pangeran Alit, anak dari isteri satunya lagi. Namun Sultan Agung panggah, dan tetap memberikan tahta Mataram kepada Pangeran Adipati Anom.
Ada beberapa catatan menunjukkan, Pangeran Adipati Anom ini akrab bergaul dengan beberapa orang Belanda yang menjadi tawanan ayahandanya --setelah penyerbuan Mataram ke Batavia.
Pergaulannya dengan beberapa orang Belanda itu, mempengaruhi pola pikir dan gaya hidup sang pangeran. Seorang utusan Kompeni, Van Goens dalam catatannya menyatakan sang putra mahkota sebagai sosok yang beringas. Temperamental sejak anak-anak. Dengan rombongan pengawal kerajaan, ia suka bepergian. Mengajak beberapa tawanan Belanda, dan mengadugulatkan mereka dengan rakyat jelantah.
De Graaf menuliskan lebih jauh, “Menjelang dewasa, sewaktu berumur kurang lebih 14 atau 15 tahun, ia sangat tertarik kepada wanita dan dengan keluguan seorang remaja, ia menceritakan petualangan cintanya kepada orang-orang Belanda tersebut.” Itu pula agaknya, setelah pernikahan dengan putri Pangeran Pekik, dia menyeleweng. Menculik isteri Tumenggung Wiraguna, panglima perang kerajaan. Meski dalam kisah lain, kelakuan Sayyidin ini seolah dibalas putranya sendiri, yang jatuh cinta kepada Rara Oyi, perempuan sengkeran (simpanan), yang kelak hendak dinikahi oleh Amangkurat itu sendiri.
Tapi Sultan Agung, agaknya sangat membela sang anak. Karena ulah anak dan pemanjaan bapak itu, situasi kabinet Sultan Agung menjadi kurang harmonis. Konflik diam-diam tak terhindarkan, intrik, dan lahirnya para penjilat dari koalisi ARS (Asal Raja Senang). Hingga muncul pembelotan, lahirnya koalisi liar dan pemberontakan. Semuanya karena Sultan Agung begitu cintanya kepada sang anak.
Sultan Agung menghukum mati 20-an elite kerajaan, termasuk sanak-saudara sendiri, juga ulama. Membakar 800-an kapal yang dikhawatirkan bakal dipakai para pemberontak melarikan diri. Dan seterusnya. Hingga Raden Mas Sayyidin menggantikan Sultan Agung tanpa ada kekuatan oposisi yang mampu menandingi.
Kekuasaannya berlangsung lama, meski kalah setahun dengan Soeharto di 'kerajaan' Indonesia. Amangkurat I memimpin dengan tangan besi, antara lain pembantaian ulama yang fenomenal itu. Meski ia dikenal sebagai penguasa yang juga membangun berbagai infrastruktur, juga terlibat dalam banyak proyek-proyek pembangunan ekonomi. Ia memperhatikan kesejahteraan rakyatnya, entah dengan atau tanpa bansos. Kekuasaannya penuh paradoks dengan selera kosmopolitannya. Sekira sudah ada musik rock, mungkin ia juga akan menyukainya.
Namun ia tak pandai mengelola kejayaan Mataram yang dengan susah payah dibangun kekuasaan sebelumnya. Amangkurat I menerapkan sistem sentralisasi kekuasaan atau pemerintahan yang terpusat. Menyingkirkan beberapa pendukung terdekatnya, yang dianggap tak sejalan dengan pandangan politiknya. Ada yang diutus ke medan perang, tapi di tengah jalan justeru dibunuh sendiri lewat utusannya. Memindah ibukota kerajaan ke Plered, yang semula dengan konstruksi kayu ke konsep batu-bata. Proses pemindahan tidak mulus, memunculkan pemberontakan. Salah satunya dari adik sendiri --lain ibu, yang dibantu para ulama. Dari sinilah pembantaian saudara kandung dan ribuan ulama itu bersebab.
Tapi, setelah 31 tahun kekuasaannya jatuh juga di tangan pemberontak. Amangkurat I melarikan diri, bersama keluarga dan pengikut setia. Dalam pelarian ketika usia tak lagi muda, banyak mengalami kemalangan, termasuk nyaris dirampas gerombolan perampok. Juga ditolak oleh dua putra lainnya ketika hendak meminta perlindungan kerajaan. Hingga mangkatnya pada tahun 1677 di wilayah Banyumas. Namun jasadnya dilarikan ke daerah yang dianggap aman oleh para pengikutnya, di wilayah Tegal, dan dimakamkan di daerah yang pernah menjadi penyangga pangan Mataram pada jaman Sultan Agung.
Demikian dongeng mengenai fenomena kekuasaan di Jawa pada abad 17. Tak perlu sensi. Nggak usah dikait-kaitkan. Nikmati saja kisah kemanusiaannya. | Dikutipkan dari de Graaf dan berbagai bacaan lain, oleh Sunardian Wirodono III