QBeritakan.com - Ada lima tahapan ujian sebuah negara dalam konsolidasi demokrasi. Kegagalan dalam menghadapinya akan berdampak pada persoalan serius, tak tertutup kemungkinan akan terseret pada jurang kegagalan. Kelima tahapan itu adalah tergulingnya pemimpin besar, konflik horinsontal, liberalisasi politik, otonomi daerah, dan konflik antarlembaga.
Di Indonesia, kita selalu disuguhi kejutan demi kejutan terkait tahapan-tahapan itu. Banyak yang mengira Indonesia akan terbelah setelah tergulingnya Soekarno, namun militer mampu sigap dengan mengedepankan konsep stabilitas nasional dengan model dwi fungsi yang mereka perkenalkan.
Nasib Indonesia kembali dipertanyakan pasca turunnya Soeharto, namun lagi-lagi berhasil diatasi meski dengan 'kondisi compang-camping' oleh pemerintahan Habibie. Kita wajib bersyukur berhasil melewati tahapan ini, karena Yugoslavia mengalami kolaps sepeninggal pemimpin besarnya, Josip Broz Tito.
Lemahnya kontrol negara atas berbagai kepentingan berbagai pihak juga telah memicu konflik horisontal di sejumlah daerah yang sangat melelahkan dan merenggut korban jiwa serta harta benda tak sedikit. Namun saat itu dengan penuh kegigihan, semua kalangan bahu-membahu untuk menyiramkan air kedamaian pada pihak-pihak yang sedang tersulut api kebencian terhadap sesama.
Liberalisasi politik juga hampir mengoyak ketika pendulum demokrasi berada sepenuhnya di tangan politisi Senayan pasca Pemilu 1999. Euforia politik setelah terbebas dari belenggu rezim tangan besi membawa pada situasi 'polah-molah jumpalitan' para wakil rakyat yang hampir tak karuan ujung pangkalnya.
Gus Dur, akhirnya 'menawarkan diri' masuk pada medan perang sebagai sasaran tembak untuk memindah dinamika liberalisasi politik itu hanya menyempit padanya. Akhirnya Gus Dur dijatuhkan, tapi negara --lagi-lagi-- selamat.
Kita masih menghadapi dua tahapan kritis berikutnya, yaitu ekses dari otonomi daerah dan konflik antarlembaga. Kita sering merasakan sepertinya tahapan ini datang dalam waktu yang hampir bersamaan bertubi-tubi meyentak.
Di satu sisi kita sering merasakan ekses lahirnya raja-raja kecil dan dinasti-dinasti baru sebagai dampak otonomi daerah yang tidak sesuai konsep awal ketika bermaksud melawan sentralisasi Orde Baru. Pada saat bersamaan hampir setiap hari kita disuguhi konflik antarlembaga.
Konflik antarlembaga akhir-akhir ini semakin kentara terjadi di lembaga-lembaga penegak hukum. Saling telikung, saling sodok, saling sikut sangat bisa dirasakan untuk melemahkan lembaga lain yang dinilai berpontensi merongrong kenyamanan dan status quo. Contoh negara yang gagal melewati tahapan ini adalah Uni Soviet. Sang Adidaya itu harus tutup buku karena terlibat konflik antarlembaga negara tak berkesudahan.
Namun tahapan-tahapan di atas ternyata tak berjalan linier ketika menguji Indonesia. Bukan hanya tahapan empat dan lima yang seakan berjalan bersama, bahkan tahapan satu dan dua pun di banyak kesempatan kembali mencuat, hadir mengharu-biru persoalan bersamaan dengan kegentingan warga menghadapi tahapan ujian keempat dan kelima.
Konflik-konflik horinsontal masih sering meletup dan menjadi masalah masyarakat yang seakan tidak mendapatkan penanganan secara memadai. Sikap-sikap intoleran yang terus terpupuk adalah persoalan sosiologis, bukan persoalan spiritual religius. Masalah itu sejak awal seharusnya masuk dalam skala prioritas penanganan di negara muti-etnis dan multi-kultural yang majemuk dan heterogen. Ini agar riak-riak masalah dan remah-remah persoalan tak menjadi penghalang yang mencederai harmonisasi masyarakat yang plural.
Saya tak ingin menyebut lemahnya wibawa kepemimpinan nasional dalam berbagai persoalan seperti yang terjadi. Namun dalam hemat saya, negara harus benar-benar dihadirkan dalam bentuk perlindungan menyeluruh terhadap seluruh tata kehidupan warga negaranya. Presiden dan seluruh aparatusnya harus telah sadar diri bahwa slogan kerja yang didengungkan adalah benar-benar slogan yang harus dilangkahnyatakan, bukan lagi diucapmaniskan.
Muchus Budi R