QBeritakan.com - Setia itu kalau kamu ditawarin duit berapapun banyaknya dan jabatan tinggi tetap menolak, karena ada keyakinan penuh bahwa pilihanmu itu yang terbaik! Lalu bagaimana kesetiaan menurutmu? Definisi itu datang, untuk menceritakan hubungan politik yang sedang menguji iman setiap politisi negeri ini.
Saya kaget saat menemukan kualitas politisi negeri ini hanya sebatas nominal rupiah dan jabatan yang menjanjikan sebuah kekuasaan. Contohnya kamu bisa lihat sendiri, ada politisi yang lari sana-sini untuk dapat kedudukan bergengsi dalam kontestasi pilpres nanti. Ternyata waktu yang lama pun juga tidak menjamin kesetiaan itu bersemayam dalam diri mereka.
Saya melihat semua dari kacamata rakyat biasa, yang disodorkan kisah Maruarar Sirait dan Budiman Sujadmiko. Dua-duanya kader banteng, sama-sama merajut politik bersama partai benteng bermoncong putih itu. Keduanya juga paham betul akan sejarah lama, dengan luka-luka yang ditorehkan berbagai pemain politik negeri ini. Tapi kita tahu mana yang doyan tawaran dan mana yang memprioritaskan kebaikan untuk tanah air tercintanya. Jauh dari kepentingan kelompok apalagi kepentingan dirinya sendiri, Maruar bertindak demi kemaslahatan rakyat.
Saya lihat dari kegiatan keduanya. Bang Ara begitu sapaan akrabnya, kerap membagikan moment guyub rukun yang dia bangun dengan warga di berbagai daerah. Hari ini di Surabaya, besoknya di Cirebon. Kemarin di Subang, sekarang di Bekasi. Tadi di Bogor, nantinya di Jakarta. Dan begitu seterusnya, dia coba keliling berbaur dengan para relawan, demi menyatukan kekuatan untuk tetap setia mendukung Ganjar Pranowo. Karena apa? Bukan duit kawan, bukan duit. Ganjar tidak mampu jika harus berbagi duit dengan kawannya. PDIP? memang uangnya partai itu berapa, sebagian besar pergerakan mereka itu berawal dan berakhir dengan gotong-royong.
Seperti yang sudah digaungkan Ganjar, gotong royong itu memberi lebih bagi yang punya lebih dan bagi yang tidak punya, ya semampunya mau memberikan apa. Sangat jauh dengan pemandangan yang kemarin bikin kisruh partainya, karena membelokkan langkah ke orang yang punya duit lebih banyak dan pastinya dijanjikan suatu kedudukan menggiurkan.
Ya itulah pandangan yang dapat saya tangkap dari kader lama PDIP bernama Budiman Sujadmiko. Saya kaget saat dia harus menjilat ludahnya sendiri dihadapan publik. Ajaran PDIP ternyata sudah kalah dengan banyaknya tawaran yang disodorkan kepadanya. Jangankan gotong-royong membangun jaringan dengan para relawan, Budi justru mencoba mengemis dengan menghampiri kediaman Prabowo. Disana pujian hangat disanjungkan kepada tuannya Fadli Zon.
Entah kemana cerita lama yang menyeret dia pada pengalaman pelanggaran HAM puluhan tahun silam. Kemana dia yang dulu menilai seorang Prabowo adalah manusia yang gagal, kerena melanggar Hak Asasi Manusia? Kemana dia yang menanyakan rasionalisasi pikiran para pendukung capres Gerindra itu?
Hal itu tergambar dari macam pendukung baru yang masuk ke barisan Prabowo Subianto. Mereka berbondong-bondong melangkah ke sana lewat tautan influencer, seperti yang sudah dibocorkan Permadi Arya. Ada dua lintasan, jalur Sufmi Dasco dan lewat jalur adik kandung Prabowo, Hashim Djojohadikusumo.
Tentu semua ada tarifnya sendiri-sendiri, sesuai dengan kemampuan si pembawa. Mati sudah demokrasi negara ini jika pendukung calon pemimpin bukan lagi melihat pada kemapuan dan rekam jejak, melainkan pada besarnya duit yang dia sebar dan tingginya jabatan yang dijanjikan. Mau dibuat dagelan negeri ini?
Tidak kah mereka lihat rakyat yang butuh kesejahteraan hidup? Mereka berjuang dari bawah demi mendapatkan kehidupan yang mujur. Bukan untuk menjangkau satu-dua bulan, tapi berkelanjutan hingga mereka bisa mandiri dalam perekonomian mereka masing-masing.
Harapannya keadilan bisa mereka jumpai dari para pemimpinnya. Tapi apa yang kini mereka lihat kemarin? Pengkhianatan atas nama dukungan kepada Prabowo. Rakyat mendengar game berbayar yang digulirkan Permadi dan kerabat Prabowo yang memainkan politik money. Pada ujungnya kini Permadi dikurung, suaranya coba dimatikan agar tidak melebarkan fakta yang membuat orang prihatin akan kondisi capres junjungannya.
Sama halnya dengan Budiman yang sekarang namanya perlahan juga redup. Kebebasan mereka bersuara sudah dibatasi, agar tidak membongkar kedok dibalik dukungan kepada tuan barunya. Mereka satu tipe yang masih bertahan demi cuan dan jabatan.
Budiman menutup mata dengan menganggap pelanggaran HAM dan masalah penculikan aktifis sudah selesai, disaat banyak keluarga korban masih terlunta-lunta meminta tanggungjawab dan kepastian hukum korban.
Matanya tertutup nafsu politik, bukan lagi gotong-royong yang diupayakan tapi keuntungan sebesar-besarnya yang dia dapatkan. Bukan lagi kepentingan rakyat yang dibawanya, tapi sudah berubah menjadi kepentingan kelompok dan pribadinya sendiri.
Dua politisi tanah air yang dulu bergerak seirama, sekarang terpecah-belah karena salah satu dari mereka lemah iman terhadap godaan duniawi. Maruarar Sirait masih meneruskan dengan pergerakannnya memperjuangkan pemimpin yang baik dalam segala segi. Sedangkan Budiman Sujadmiko sibuk memoles tuannya yang baru agar tampil cantik nan heroik di mata rakyat.
Nikmatul Sugiyarto