QBeritakan.com - Sebenarnya bila dijumlah dari perolehan suara Nasdem 9,05% dan PKB 9,69% menjadi 18,74%, atau masih di bawah presidential threshold 20%. Tapi jika perolehan kursi DPR RI Nasdem 59 kursi dan PKB 58 kursi diakumulasi, kedua partai menghasilkan 117 kursi, atau melampaui presidential threshold 115 kursi DPR RI.
Karenanya bakal Capres dan Cawapres yang baru saja dideklarasikan di Surabaya, pada diri Anies dan Cak Imin bisa maju di Pilpres 2024. Tinggal menanti deklarasi dari pasangan Prabowo, apakah dengan Airlangga Hartarto atau ada kejutan berikutnya? Begitu pun pasangan Ganjar Pranowo yang sulit direka-reka.
Penonton hanya bisa menunggu dengan pasti sampai benar-benar sudah berada di depan pintu KPU saat pendaftaran esok. Sebab seperti 2019 lalu, penonton ingin melihat pasangan Jokowi-Mahfud MD, tapi tiba-tiba berubah menjadi Jokowi-Ma'ruf Amin pada Hari-H.
Yang semakin menarik justru ada rumor yang berkembang bila bakal muncul 'Poros ke-4' antara Partai Demokrat bersama PPP dan PKS, yang semakin terasa karena PKS batal hadir pada deklarasi Anies-Cak Imin, dan mundurnya Partai Demokrat dari Koalisi Perubahan.
Partai Demokrat merasa telah dihianati oleh Anies dan Nasdem yang batal mengusung AHY sebagai bakal Cawapres, karena dinilai hanya Mayor TNI, karbitan dan belum matang. Walau intrik politik ini kembali sedikit menyenggol pihak istana yang sejatinya tidak tahu apa-apa.
Nampaknya selama Jokowi masih menjabat presiden, maka apapun yang terjadi di republik ini, yang paling mudah tinggal tunjuk Jokowi saja. Bahkan sangat mungkin tipe yang seperti itu bila kelak menjadi presiden lalu gagal, ia akan dengan mudah berkata yang tak jauh beda:
"Kami hanya melanjutkan era sebelumnya, atau bila menemui hambatan, tinggal bilang ini karena kesalahan masa lalu, dan kami yang terkena imbasnya. Bila tak mampu meneruskan program sebelumnya, tinggal bilang saja tidak sesuai program kami bla.. bla.. ble.. blo"
Tapi bila sukses sedikit saja, pasti langsung jumawa. Yang lebih parah lagi, tidak ada rasa malu mengaku-ngaku karya pihak lain sebagai karya dirinya. Itu karena integritas yang tak ada selain hanya modal retorika dan dukungan kuat dari para pemodal yang kelak ikut menikmati.
Memang tidak mudah menyaingi atau meniru layaknya seorang Jokowi yang bekerja tak kenal waktu tanpa harus mengeluh dan menyalahkan pihak lain atau pihak sebelumnya. Apalagi yang hanya bermodal jargon perubahan, tentu makin jauh. Lagipula apanya juga yang mau dirubah?
Sebuah perenungan
Wahyu Sutono
Karenanya bakal Capres dan Cawapres yang baru saja dideklarasikan di Surabaya, pada diri Anies dan Cak Imin bisa maju di Pilpres 2024. Tinggal menanti deklarasi dari pasangan Prabowo, apakah dengan Airlangga Hartarto atau ada kejutan berikutnya? Begitu pun pasangan Ganjar Pranowo yang sulit direka-reka.
Penonton hanya bisa menunggu dengan pasti sampai benar-benar sudah berada di depan pintu KPU saat pendaftaran esok. Sebab seperti 2019 lalu, penonton ingin melihat pasangan Jokowi-Mahfud MD, tapi tiba-tiba berubah menjadi Jokowi-Ma'ruf Amin pada Hari-H.
Yang semakin menarik justru ada rumor yang berkembang bila bakal muncul 'Poros ke-4' antara Partai Demokrat bersama PPP dan PKS, yang semakin terasa karena PKS batal hadir pada deklarasi Anies-Cak Imin, dan mundurnya Partai Demokrat dari Koalisi Perubahan.
Partai Demokrat merasa telah dihianati oleh Anies dan Nasdem yang batal mengusung AHY sebagai bakal Cawapres, karena dinilai hanya Mayor TNI, karbitan dan belum matang. Walau intrik politik ini kembali sedikit menyenggol pihak istana yang sejatinya tidak tahu apa-apa.
Nampaknya selama Jokowi masih menjabat presiden, maka apapun yang terjadi di republik ini, yang paling mudah tinggal tunjuk Jokowi saja. Bahkan sangat mungkin tipe yang seperti itu bila kelak menjadi presiden lalu gagal, ia akan dengan mudah berkata yang tak jauh beda:
"Kami hanya melanjutkan era sebelumnya, atau bila menemui hambatan, tinggal bilang ini karena kesalahan masa lalu, dan kami yang terkena imbasnya. Bila tak mampu meneruskan program sebelumnya, tinggal bilang saja tidak sesuai program kami bla.. bla.. ble.. blo"
Tapi bila sukses sedikit saja, pasti langsung jumawa. Yang lebih parah lagi, tidak ada rasa malu mengaku-ngaku karya pihak lain sebagai karya dirinya. Itu karena integritas yang tak ada selain hanya modal retorika dan dukungan kuat dari para pemodal yang kelak ikut menikmati.
Memang tidak mudah menyaingi atau meniru layaknya seorang Jokowi yang bekerja tak kenal waktu tanpa harus mengeluh dan menyalahkan pihak lain atau pihak sebelumnya. Apalagi yang hanya bermodal jargon perubahan, tentu makin jauh. Lagipula apanya juga yang mau dirubah?
Sebuah perenungan
Wahyu Sutono