QBeritakan.com - Awal tahun 2023 adalah Tahun yang berat bagi Anies Baswedan, pukulan pertama adalah terancamnya Nasdem ditendang dari Kabinet Jokowi, ini akan berakibat pada sikap Nasdem dalam mendukung Anies. Harus diakui peran Nasdem sebagai motor utama Anies dan mesin lokomotif Anies dalam membangun persekutuan politik sehingga memenuhi syarat Presidential Threshold sangat signifikan. Koalisi Perubahan dimana Nasdem menjadi pemimpinnya terancam batal karena keraguan Nasdem dalam meninggalkan Jokowi.
Hantaman kedua adalah ‘pengakuan’ tiba-tiba Sandiaga Uno yang muncul ke publik tentang isu ‘Perjanjian Politik’ bahwa Anies tidak akan melawan Prabowo selama Prabowo akan maju sebagai Capres. Sulit diidentifikasi pernyataan Sandiaga, apakah ini perintah dari kubu Jokowi atau perintah langsung dari kubu Gerindra. Sandiaga setelah diangkat menjadi Menteri lebih dekat kepada Jokowi ketimbang ke kubu Anies, tapi juga berjarak dengan kubu Prabowo. Ini ditandai dengan keengganan kubu Gerindra membela Sandiaga juga sikap ‘buang badan’ Fadli Zon atas pernyataan Sandiaga jadi lebih terkesan pernyataan Sandiaga bisa dianggap ‘pesanan’ diluar Prabowo.
Tapi kemudian kejeniusan Jusuf Kalla dan tim strategi Anies sekali lagi membuat dua serangan upper cut politik menjadi mentah. Serangan pertama dibalas dengan ‘politik silahturahmi’ Surya Paloh yang ternyata berhasil melemahkan isu Reshuffle, bahkan Surya Paloh memperluas serangan dengan mencoba memberi kode akan bertemu Megawati yang kemudian dimentahkan oleh Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, bahwa boleh-boleh saja bertemu Megawati tapi tidak bisa bicara soal Pencapresan. Pelebaran kekuatan pengaruh ‘politik kunjungan’ Surya Paloh sudah dibaca pihak PDIP. Kabar kemungkinan runtuhnya Koalisi Perubahan karena tekanan Jokowi sempat membuat panik kubu Anies, bahkan Sudirman Said sendiri sampai turun tangan menggertak dua Partai : Demokrat dan PKS dengan melihat fakta Surya Paloh akan surut ke belakang agar Demokrat dan PKS segera mengumumkan secara resmi Anies Baswedan sebagai Capres 2024, kesan kepanikan ini terjadi justru pada tempat konpers yang diadakan di Bandara Sukarno-Hatta.
Kabar hantaman kedua juga berlangsung cepat. Tiba-tiba Sandiaga Uno di depan Podcast Akbar Faizal mengungkapkan isi perjanjian politik yang mengisyaratkan Anies untuk selamanya tidak melawan Prabowo dalam proses pencapresan. Kabar ini diperkirakan akan mempengaruhi suara mengambang rakyat (Floating Mass) yang tidak berpihak pada kubu Anies ataupun kubu lawan Anies soal integritas Anies.
Namun di titik ini Jusuf Kalla melemparkan kemampuan politiknya dan menunjukkan senioritas dalam berpolitik. JK diduga memerintahkan keponakannya Erwin Aksa untuk membuka isi perjanjian hutang piutang antara Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, agar terjadi konflik antara Sandiaga dan kubu Anies sehingga meredakan isu manipulasi kontrak politik. Hal terpenting dalam lemparan isu ini adalah mengingatkan Sandiaga “bahwa yang bisa mengalahkan kubu Jokowi hanya Anies dalam kasus Pilkada DKI 2017 bukan kubu Prabowo yang dua kali kalah dalam kontestasi politik 2014 dan 2019 dalam melawan kubu Jokowi”. Pesan politik itu awalnya tidak dibaca Sandiaga, bahkan Sandiaga hampir terjebak dalam opini tersebut sebelum akhirnya menarik diri. Beruntung kubu Gerindra sejak awal tidak ikut masuk dalam lingkaran keributan Kubu Anies vs Sandiaga dan ini dipertanyakan lemparan isu Sandiaga apakah ‘pesanan kubu Jokowi ataukah dari kubu Prabowo?’
Sekali lagi dalam kasus Sandiaga ini, kubu Jokowi diingatkan lawan mereka bukan kubu Prabowo lagi, lawan mereka sudah jauh berbeda baik skala opini maupun permainan strategi, karena lawan kubu Jokowi adalah orang-orang yang awalnya juga ikut dalam proses memenangkan Jokowi pada 2014 seperti JK, Sudirman Said bahkan Anies sendiri. Dan perlu diingat kejeniusan kelompok mereka meledakkan kasus sepele Buni Yani jadi peluru kendali yang menghantam Kubu Jokowi dalam kasus Ahok adalah kekuatan bukan kaleng-kaleng.
Kelemahan di tubuh Kubu Jokowi ternyata sama dengan kejadian 2017 saat terjadi Pilkada DKI 2017, terlalu berantem sesama kelompoknya sendiri bahkan sebelum Ahok dicalonkan secara resmi oleh PDIP, kubu Ahok memaksa dan menyerang PDIP yang dimotori PSI dan permainan ini dibaca pihak Anies, JK dan SBY sehingga mereka dengan cepat menggebuk Ahok sebelum Ahok dicalonkan PDIP dan meledak sebelum persatuan Ahok dengan PDIP menjadi solid. Keributan soal Buni Yani sendiri diawali justru terlalu berisiknya kubu Ahok menanggapi Buni Yani yang justru berbalik membakar Ahok. Seperti kasus Noel yang besar kemungkinan adalah by design Jusuf Kalla tapi ditanggapi kubu Jokowi secara berlebihan bahkan memancing Noel hadir di media-media besar TV yang justru menaikkan Noel sebagai politisi berbasis massa padahal sesungguhnya pengaruh Noel sangat sedikit, justru ia besar karena dibesarkan oleh pendukung-pendukung Jokowi.
Hal-hal inilah yang dibaca tim strategi Anies Baswedan yang awalnya sudah mengerti ‘Politik Jaman Jokowi’ berbeda dengan politik jaman SBY. Bila politik jaman SBY yang dipentingkan adalah ‘stage of drama’, panggung drama karena di era SBY yang berjaya adalah sinetron-sinetron TV, sementara di jaman Jokowi yang berlaku adalah ‘Politik adalah Atensi’. Hal ini terjadi karena pengaruh Sosial Media. Jadi semakin Anies diributkan nama Anies semakin melambung apalagi lawan Anies belum terbentuk solid.
Hal-hal seperti diatas harus jadi perhatian dari kubu Jokowi, karena kemenangan Anies dalam kasus Pilkada DKI 2017 bisa terulang bukan dari kemenangan politik identitasnya, tapi dari kemampuan tim strategi Anies melakukan politik atensi.
Dalam kasus Anies yang perlu diperhatikan justru kejeniusan Megawati yang sedari awal menarik diri dari keributan-keributan sebelum Pemilu 2024. Megawati masih menjaga jarak dari lingkaran keributan itu, sekaligus mengingatkan pada kesalahan Ahok yang terlalu ‘ribut’ sebelum munculnya resmi pencalonan tapi jadi pusat hajaran permainan JK dan SBY.
Dititik inilah pertarungan kejeniusan JK melawan Megawati bertemu pada 2024.
Ditulis : Anton DH Nugrahanto