QBeritakan.com - "Saat cinta datang..ikutlah walau jalannya terjal dan berliku, ketika
sayapnya membentang dekaplah meski pedang di balik sayap itu akan
melukai"
"Pii...aku mau cerita!" katanya sambil menghempaskan tubuhnya di sofa. Aku masih sibuk dengan layar laptopku. Dia bangkit dan mendekat, bergelayut manja di lenganku dengan wajahnya yang sumringah.
"Pii..mimi mau cerita" bisiknya dengan lembut.
"Mii..please deh..pipi masih sibuk..nanti aja ya" sahutku tanpa menoleh.
"Hmmm..sibuk ya pii...iya deh.."
dia melongok sebentar ke layar laptopku lalu pergi sambil bersenandung riang. Sebentar kemudian terdengar kesibukannya beres-beres rumah.
"Piii...mimi baru selesai menulis. Pipi baca yah.."
"Mana sempat mii.."
"Biasanya pipi selalu sempat.."
"Sekarang-sekarang gak sempat"
"Ya sudah, nanti aja kalau pipi sempat ya.."
Lalu dia pergi ke dapur. Membuatkan kopi untukku. Aku suka kopi buatan Mimi. Komposisinya pas. Biasanya kalau sudah ada kopi diantara kami, maka akan ada obrolan manis, senda gurau dan keakraban yang hangat. Tapi aku benar-benar harus mencurahkan semua perhatian ku pada pekerjaan yang menumpuk. Maka ketika Mimi datang dengan cangkir kopinya aku hanya menatap wajahnya sekilas saat dia mempersilahkan ku meminum kopi buatannya.
Aku bahkan tak sempat bilang terima kasih. Apalagi menikmati senyuman riangnya itu. Sementara Mimi masih saja dengan wajah sumringahnya aku malah menambah kerutan-kerutan di keningku.
Aku tinggal sendiri di rumah. Ayah dan Ibu di kampung tak pernah mau ikut denganku. Katanya lebih nyaman tinggal di rumah sendiri dari pada ikut anak. Mereka sengaja membiarkanku sendiri biar kalau tidak betah aku mau lekas-lekas mencari istri.
Tanpa pembantu atau asisten rumah tangga kadang membuat rumahku jadi seperti sangkar hantu. Berdebu dan dingin. Mimi yang sering membantu ku membersihkan rumah. Kadang dia juga memasak untukku. Mengisi kulkas dengan bahan-bahan makanan yang siap saji tinggal dipanaskan saja kalau mau makan. Dia juga yang mencuci pakaian dan menyetrikanya lalu menyusunnya di lemari.
Pokoknya dia melakukan hampir semua tugas-tugas ibu rumah tangga di rumahku ini. Biasanya dia datang saat weekend. Tapi kadang juga sepulang dari bekerja. Kebetulan kantornya tak jauh dari rumahku. Aku memberinya kunci serep jadi dia bisa datang kapan saja walau aku sedang tidak di rumah.
Sebenarnya Ibu sudah menyuruhku cepat-cepat melamarnya. Apa lagi yang ditunggu kata ibu. Tapi entahlah, setiap kali aku memutuskan untuk menikahinya selalu saja ada halangan. Selalu saja ada yang membuatku terpaksa menundanya.
Untungnya Mimi sangat pengertian. Dia tak pernah menuntutku ini dan itu. Termasuk menikah. Padahal bisa dibilang usianya juga sudah tidak muda lagi. Dia juga sudah selalu ditanya orang tua dan sanak keluarga, kapan menikah. Tapi Mimi orangnya santai. Hidupnya seolah tanpa beban. Dia hanya tersenyum saja setiap kali disinggung keluarganya soal pernikahan.
"Pii...Ini bisa jadi malam terakhir mimi disini..pipi nggak mau ajak mimi jalan-jalan putar-putar kota dulu?
"Capek mii...kita langsung pulang aja ya"
"Pii...besok aku berangkat ke Lampung. Pipi mau antar aku ke bandara?"
"Jam berapa mi?"
"Jam 11:30"
"Hmm..takutnya masih tidur"
"Ya sudah deh..biar nanti aku minta antar Lana ya" serunya masih dengan senyum cerianya.
Aku mengantarnya sampai depan kos-an. Diraihnya tanganku dan menciumnya. Lalu meletakkan tanganku di kepalanya. Aku hanya mengusapnya sekilas. Dia nyengir lalu bergegas turun dari mobil. Aku segera pulang setelah melihatnya masuk.
Aku kesiangan. Ku lihat pesan wa dari Mimi lima menit yang lalu
10.00 : 'Otw Bandara'
10.30 : 'Pii..jadi kesini?'
11.00 : 'Mimi dah mau boarding pii'
11.10 : 'love you pii'
Aku tak membalasnya. Percuma kan..pasti sekarang hp-nya sudah off. Kulanjutkan tidurku. Besok aku juga harus pulang kampung.
Ada yang aneh rasanya. Kubuka pesan wa Mimi. Pesan terakhir adalah dua hari yang lalu. Ini aneh. Tak biasanya. Lagi pula dia belum mengabari saat tiba di rumah. Padahal aku sendiri tidak mengabari saat aku melakukan perjalanan mudik. Sampai di kampung halaman aku sibuk bertemu teman dan kerabat.
Jadi tidak terlalu memperhatikan kalau Mimi belum wa sejak dua hari lalu.
"Pak de..mana remote tv?" keponakan ku Agam menarik-narik tanganku. Aku bangkit mengambilkan remote yang diletakkan ibunya di atas lemari. Keponakan yang lain masih berlarian di halaman.
Menjelang hari raya rumah Ibu selalu ramai oleh mahluk-mahluk mungil ini. Dan aku satu-satunya yang belum berkeluarga. Aku juga sudah kebal dengan pertanyaan 'kapan menikah'. Yang bertanya juga nyaris bosan dengan jawabanku.
"Ibu kira lebaran tahun ini kamu sudah bisa pulang bawa istri" Ibu mengomeli ku. "Apa si Nina yang belum mau? Kalau dia belum mau mending kamu menikah saja dengan anaknya pak rt, si Ratri..anaknya cantik, baik, dan keluarga kita sudah akrab dengan mereka"
"Aku cuma mau sama Nina, bu"
"Ya sudah, buruan dilamar to le..tunggu apa lagi? tunggu ibu mu ini mati?"
"Astaghfirullah, Ibu.."
"Habis kamu..."
"Insyaallah tahun depan aku sudah bisa berlebaran sama istriku bu"
"Gak usah lama-lama!" sergah ibu "sebelum lebaran haji nanti kamu lamar dia!!"
"Iya iya.. buu"
"Janji???"
Hadeeeh...si Ibu..
"Janjiii???"
"Iya janji"
Ibu puas berhasil membuatku berjanji. Giliran aku yang mumet. Menikah kok pakai dipaksa toh bu.
Agam sudah sibuk pilih-pilih siaran tv. Sebentar-sebentar pindah chanel. Mumpung saingannya sedang sedang sibuk main diluar jadi dia leluasa menguasai remote tv sendirian. Tiba-tiba aku melihat siaran itu.
"Berikut daftar nama korban meninggal dalam kecelakaan pesawat Li*n Air yang jatuh di Lampung Timur :
1.....
2.....
3.....
4.Nina Miliana
5........
Tubuhku menegang kaku...bintang-bintang beterbangan diatas kepalaku
Nina-ku...Mimi-ku....ohh..tidak!!
****
****
Sudah dua kali lebaran Idul Fitri sejak kepergian Mimi. Dan aku masih sendiri. Ibu tak pernah menagih janjiku. Dan keluarga yang lain hampir tak pernah lagi bertanya kapan aku akan menikah. Aku sudah menikahi pekerjaanku. Sesekali aku rindu berisiknya nada pesan yang khusus ku setting buat Mimi.
Rindu wajahnya yang selalu tersenyum, celotehannya, wangi kopi buatannya.
Mimi yang selalu peduli walau kadang aku mengabaikannya. Mimi yang selalu bersabar walau aku mengecewakannya. Mimi yang tetap menyapa walau dilupakan.
Kubuka lagi link tulisan terakhir yang pernah diberikannya waktu itu.
Mimi gak mau kehadiran mimi dalam hidup pipi jadi nambahin masalah baru dan kerepotan baru buat pipi. Gak mau bikin kerjaan tambahan buat pipi.
Mimi pingin jadi angin sejuk yang bikin pipi lebih bahagia bukan angin angin badai yang bikin pipi jadi berantakan.
Buat Mimi, saat cinta datang..ikutlah walau jalannya terjal dan berliku, ketika sayapnya membentang dekaplah meski pedang di balik sayap itu akan melukai.
Apapun yang akan terjadi kedepannya Mimi gak akan menyesal sudah jatuh cinta sama pipi. Pipi hadiah yang indah dari Tuhan buatku.
Terima kasih sudah datang dalam kehidupanku pii.
Love U pii"
Ahhh...Jika sudah tiada barulah terasa.
"Mii..please deh..pipi masih sibuk..nanti aja ya" sahutku tanpa menoleh.
"Hmmm..sibuk ya pii...iya deh.."
dia melongok sebentar ke layar laptopku lalu pergi sambil bersenandung riang. Sebentar kemudian terdengar kesibukannya beres-beres rumah.
"Piii...mimi baru selesai menulis. Pipi baca yah.."
"Mana sempat mii.."
"Biasanya pipi selalu sempat.."
"Sekarang-sekarang gak sempat"
"Ya sudah, nanti aja kalau pipi sempat ya.."
Lalu dia pergi ke dapur. Membuatkan kopi untukku. Aku suka kopi buatan Mimi. Komposisinya pas. Biasanya kalau sudah ada kopi diantara kami, maka akan ada obrolan manis, senda gurau dan keakraban yang hangat. Tapi aku benar-benar harus mencurahkan semua perhatian ku pada pekerjaan yang menumpuk. Maka ketika Mimi datang dengan cangkir kopinya aku hanya menatap wajahnya sekilas saat dia mempersilahkan ku meminum kopi buatannya.
Aku bahkan tak sempat bilang terima kasih. Apalagi menikmati senyuman riangnya itu. Sementara Mimi masih saja dengan wajah sumringahnya aku malah menambah kerutan-kerutan di keningku.
Aku tinggal sendiri di rumah. Ayah dan Ibu di kampung tak pernah mau ikut denganku. Katanya lebih nyaman tinggal di rumah sendiri dari pada ikut anak. Mereka sengaja membiarkanku sendiri biar kalau tidak betah aku mau lekas-lekas mencari istri.
Tanpa pembantu atau asisten rumah tangga kadang membuat rumahku jadi seperti sangkar hantu. Berdebu dan dingin. Mimi yang sering membantu ku membersihkan rumah. Kadang dia juga memasak untukku. Mengisi kulkas dengan bahan-bahan makanan yang siap saji tinggal dipanaskan saja kalau mau makan. Dia juga yang mencuci pakaian dan menyetrikanya lalu menyusunnya di lemari.
Pokoknya dia melakukan hampir semua tugas-tugas ibu rumah tangga di rumahku ini. Biasanya dia datang saat weekend. Tapi kadang juga sepulang dari bekerja. Kebetulan kantornya tak jauh dari rumahku. Aku memberinya kunci serep jadi dia bisa datang kapan saja walau aku sedang tidak di rumah.
Sebenarnya Ibu sudah menyuruhku cepat-cepat melamarnya. Apa lagi yang ditunggu kata ibu. Tapi entahlah, setiap kali aku memutuskan untuk menikahinya selalu saja ada halangan. Selalu saja ada yang membuatku terpaksa menundanya.
Untungnya Mimi sangat pengertian. Dia tak pernah menuntutku ini dan itu. Termasuk menikah. Padahal bisa dibilang usianya juga sudah tidak muda lagi. Dia juga sudah selalu ditanya orang tua dan sanak keluarga, kapan menikah. Tapi Mimi orangnya santai. Hidupnya seolah tanpa beban. Dia hanya tersenyum saja setiap kali disinggung keluarganya soal pernikahan.
"Pii...Ini bisa jadi malam terakhir mimi disini..pipi nggak mau ajak mimi jalan-jalan putar-putar kota dulu?
"Capek mii...kita langsung pulang aja ya"
"Pii...besok aku berangkat ke Lampung. Pipi mau antar aku ke bandara?"
"Jam berapa mi?"
"Jam 11:30"
"Hmm..takutnya masih tidur"
"Ya sudah deh..biar nanti aku minta antar Lana ya" serunya masih dengan senyum cerianya.
Aku mengantarnya sampai depan kos-an. Diraihnya tanganku dan menciumnya. Lalu meletakkan tanganku di kepalanya. Aku hanya mengusapnya sekilas. Dia nyengir lalu bergegas turun dari mobil. Aku segera pulang setelah melihatnya masuk.
Aku kesiangan. Ku lihat pesan wa dari Mimi lima menit yang lalu
10.00 : 'Otw Bandara'
10.30 : 'Pii..jadi kesini?'
11.00 : 'Mimi dah mau boarding pii'
11.10 : 'love you pii'
Aku tak membalasnya. Percuma kan..pasti sekarang hp-nya sudah off. Kulanjutkan tidurku. Besok aku juga harus pulang kampung.
Ada yang aneh rasanya. Kubuka pesan wa Mimi. Pesan terakhir adalah dua hari yang lalu. Ini aneh. Tak biasanya. Lagi pula dia belum mengabari saat tiba di rumah. Padahal aku sendiri tidak mengabari saat aku melakukan perjalanan mudik. Sampai di kampung halaman aku sibuk bertemu teman dan kerabat.
Jadi tidak terlalu memperhatikan kalau Mimi belum wa sejak dua hari lalu.
"Pak de..mana remote tv?" keponakan ku Agam menarik-narik tanganku. Aku bangkit mengambilkan remote yang diletakkan ibunya di atas lemari. Keponakan yang lain masih berlarian di halaman.
Menjelang hari raya rumah Ibu selalu ramai oleh mahluk-mahluk mungil ini. Dan aku satu-satunya yang belum berkeluarga. Aku juga sudah kebal dengan pertanyaan 'kapan menikah'. Yang bertanya juga nyaris bosan dengan jawabanku.
"Ibu kira lebaran tahun ini kamu sudah bisa pulang bawa istri" Ibu mengomeli ku. "Apa si Nina yang belum mau? Kalau dia belum mau mending kamu menikah saja dengan anaknya pak rt, si Ratri..anaknya cantik, baik, dan keluarga kita sudah akrab dengan mereka"
"Aku cuma mau sama Nina, bu"
"Ya sudah, buruan dilamar to le..tunggu apa lagi? tunggu ibu mu ini mati?"
"Astaghfirullah, Ibu.."
"Habis kamu..."
"Insyaallah tahun depan aku sudah bisa berlebaran sama istriku bu"
"Gak usah lama-lama!" sergah ibu "sebelum lebaran haji nanti kamu lamar dia!!"
"Iya iya.. buu"
"Janji???"
Hadeeeh...si Ibu..
"Janjiii???"
"Iya janji"
Ibu puas berhasil membuatku berjanji. Giliran aku yang mumet. Menikah kok pakai dipaksa toh bu.
Agam sudah sibuk pilih-pilih siaran tv. Sebentar-sebentar pindah chanel. Mumpung saingannya sedang sedang sibuk main diluar jadi dia leluasa menguasai remote tv sendirian. Tiba-tiba aku melihat siaran itu.
"Berikut daftar nama korban meninggal dalam kecelakaan pesawat Li*n Air yang jatuh di Lampung Timur :
1.....
2.....
3.....
4.Nina Miliana
5........
Tubuhku menegang kaku...bintang-bintang beterbangan diatas kepalaku
Nina-ku...Mimi-ku....ohh..tidak!!
****
****
Sudah dua kali lebaran Idul Fitri sejak kepergian Mimi. Dan aku masih sendiri. Ibu tak pernah menagih janjiku. Dan keluarga yang lain hampir tak pernah lagi bertanya kapan aku akan menikah. Aku sudah menikahi pekerjaanku. Sesekali aku rindu berisiknya nada pesan yang khusus ku setting buat Mimi.
Rindu wajahnya yang selalu tersenyum, celotehannya, wangi kopi buatannya.
Mimi yang selalu peduli walau kadang aku mengabaikannya. Mimi yang selalu bersabar walau aku mengecewakannya. Mimi yang tetap menyapa walau dilupakan.
Kubuka lagi link tulisan terakhir yang pernah diberikannya waktu itu.
Mimi gak mau kehadiran mimi dalam hidup pipi jadi nambahin masalah baru dan kerepotan baru buat pipi. Gak mau bikin kerjaan tambahan buat pipi.
Mimi pingin jadi angin sejuk yang bikin pipi lebih bahagia bukan angin angin badai yang bikin pipi jadi berantakan.
Buat Mimi, saat cinta datang..ikutlah walau jalannya terjal dan berliku, ketika sayapnya membentang dekaplah meski pedang di balik sayap itu akan melukai.
Apapun yang akan terjadi kedepannya Mimi gak akan menyesal sudah jatuh cinta sama pipi. Pipi hadiah yang indah dari Tuhan buatku.
Terima kasih sudah datang dalam kehidupanku pii.
Love U pii"
Ahhh...Jika sudah tiada barulah terasa.