Qberitakan.com - Siang itu pergi bersama ayah, selama diperjalanan ayah
lebih banyak bicara. Aku hanya menjadi pendengar yang baik saja, karena
ada hal yang membuat ayah begitu marah. Rasa amarahnya diluapkan dengan
nada tinggi, aku pun tidak berani membantah pendapatnya dirasa benar.
Padahal salah sih, ya aku hafal betul karakter ayah bila sudah marah
akan bicara keras dan terkadang keluar jauh dari topik.
Tidak jarang aku pun kena imbas meski tidak tahu menahu masalahnya apa,
jengkel juga. Tapi mencoba sabar agar amarahannya semangkin memuncak,
sempat salah bicara fatal akibatnya. Aku hanya menggut-manggut seakan
paham dan mengerti apa yang dibicarakan sambil terus konsentrasi
menyetir.
Namun dengan tiba-tiba ayah melirik dan berkata "Kamu manggut-manggut
saja dari tadi, seakan-akan meremehkan apa yang saya bicarakan! Sama
saja kalian semuanya, tidak mengerti dengan saya!" Ya salam, tu kan kena
juga akhirnya? "Iya ya, saya paham kok ayah. Tapi, ayah jangan ikut
marah sama saya. Itukan masalahnya bisa diselesaikan nanti. Sabarlah
ayah...."
Ayah tampak masih marah dengan raut wajah cemberut, "Ya sudahlah, tidak
ada yang diselesaikan lagi, sudah terlambat. Kesabaran saya sudah abis,
kamu sudah makan? Yok makan dulu kita di rumah makan itu nanti!" Makin
membingungkan, marah, tapi menawarkan makan? Aku pun tersenyum geli dan
tertawa dalam hati "Ha ha, ini ayah maksud apa ya? Marah, tapi ngajakin
makan? Ayah... ayah..." Lama-lama gantian saya yang marah nih.
Akhirnya sampai di rumah makan yang disebut ayah tadi, dengan percaya
diri penuh ayah memanggil pelayan rumah makan tersebut "Boss, apa saja
menu lauk pauk yang ada disini? Bawa kesini ya..." baru kali ini pelayan
dipanggil boss, menghargai kali ya. Sang pelayan dengan ramah
mengiyakan permintan ayah "Baik pak, minumnya apa pak?"
"Oh... minumannya teh es manis saja ya, biar adem. Suasana lagi
panas-panas seperti sekarang enaknya minum yang manis dan dingin-dingin"
santai. Wah, ini ayah benaran mau minum teh es manis dengan tulus apa
nyindir saya ya? Ya sudahlah, pikiran baik saja.
Tak lama kemudian pesanan pun datang lengkap dengan minuman teh es
manis. Ayah terlihat makan begitu lahapnya, aku pun makan sekali
menunjuk lauk pauk yang ada dimeja, "Ini enak loh ayah, coba yah enak."
Ayah pun mengambilnya dan melanjutkan makan dengan lahap.
Setelah itu kami pun pulang kerumah, ayah sudah tidak marah dan nada
bicaranya sudah menurun tanpa membahas lagi masalah yang membuat beliau
marah. Ayah kebanyak bercerita tentang sejarah, agama, adat istiadat,
dan cerita masa mudanya.
Akhirnya kami pun sampai dirumah, kakakku pun bertanya keadaan ayah
"Gimana ayah, sudah tenang dan santai sepertinya. Emang kamu bicara apa
sama ayah?" Penasaran. "Tidak ada bicara apa-apa saya, cuma menjadi
pendengar yang baik ketika ayah melepaskan unek-uneknya, setelah itu
makan" bicara pelahan agar tidak terdengar oleh ayah. "Trus sudah aman
itu ayah? Nanti ayah kambuh lagi ulahnya..." khwatir. "Sudah aman,
dijamin. Intinya ayah saat ini tidak mau dibantah, di iyakan saja apa
katanya, dan ikuti maunya apa, end. Hi hi" aku pun tertawa, padahal tadi
sempat juga kena imbas kemarahan ayah.
Malamnya aku lagi dan lagi pergi meninggal kan rumah dan kampung
halaman, pamit dengan ayah. "Ya, hati-hati dijalan. Jangan ngebut, kalau
lelah istirahat dan makan dulu. Ini uang tambah isi bensin" ayah
berkata sambil menyodorkan selembar uang lima puluh ribu. "Ya ayah, ayah
yang sabar dirumah ya, jangan marah-marah lagi. Kalau ada masalah
bicarakan baik-baik, oh iya uangnya simpan saja buat ayah. Uang buat
makan dan beli bensin cukup kok" menolak dengan halus uang bensin yang
diberikan ayah.
Sebulan kemudian dikabarkan ayah telah tutup usia, aku pun terhenyak
lunglai. Ditengah derasnya hujan aku menembus jalanan pulang kampung,
sampai di rumah ayah terbujur kaku dan dingin.
Selamat jalan Ayah.... Semoga amal ibadah ayah diterima oleh Allah SWT dan diampuni segala kesalahan dan dosanya.
Ternyata dihari sebulan lalu adalah hari terakhir makanku bersama ayah. Terima kasih traktirannya Ayah....