Mirah..
Namanya Sumirah, Meski sederhana tapi dia mempesona dengan kecantikan
yang biasa saja. Rasanya bukan karena cantik atau penampilan trendynya
yang membuat dia disukai banyak orang tapi lebih ke pembawaannya yang
riang dan kepribadiannya yang menarik. Meski Mirah hanya ibu rumah
tangga biasa tapi karena Ia pintar bergaul temannya banyak dari berbagai
kalangan.
Ya, Mirah yang hidup sederhana tanpa penghasilan tetap tak
pernah minder berteman dengan nyonya-nyonya kaya, pengusaha bahkan para
pejabat. Tapi juga tak pernah sombong dan tetap berteman baik dengan
ibu-ibu kampung, janda-janda tua, tukang parkir, tukang sapu jalanan
atau pun preman pasar. Mirah yang lincah, supel dan baik hati selalu
terlihat bahagia seolah tak pernah punya masalah atau beban hidup.
Akhir-akhir
ini Mirah seringkali terlihat murung. Dia datang pada ku dan bercerita
kalau dia merasa lelah menjalani hidupnya. Aku heran, biasanya Mirah
selalu optimis dan penuh semangat. Katanya dia lelah terlihat baik-baik
saja padahal sesungguhnya hidupnya amat berat.
"Kau
tau..hidupku ini tak pernah indah. Kalau kau pikir hidupku ini
menyenangkan itu karena aku tak pernah mengeluh dan selalu tersenyum.
Aku tak ingin memberatkan orang lain dengan kegelisahan dan ketidak
bahagiaan ku.
Aku tak ingin memamerkan pada semua orang tentang ketidak
berdayaanku. Aku ingin membuat orang lain senang dengan membuat mereka
percaya bahwa aku baik-baik saja."
Pada
ku Mirah menceritakan semua kegalauan hatinya. Tentang keadaan
finansialnya, tentang masalahnya dengan mantan suaminya, tentang
kekecewaannya atas ketidak-adilan bos tempat dia bekerja paruh waktu,
tentang harapan-harapannya yang tak terwujud dan tentang banyak hal.
Begitulah awal kedekatanku dengannya.
Semakin hari hubungan ku dengannya
semakin dekat. Dengan ku Mirah bebas mengekspresikan apa saja
perasaannya. Saat senang dia akan riang gembira dengan senyum lebarnya
yang khas dan saat sedih dia tak sungkan menangis dan saat marah akan
suatu hal dia akan mengisahkannya pada ku dengan suara meledak-ledak
seolah dia sedang marah pada ku.
Karena sejak awal aku sudah
menyukainya maka terjadilah hal yang seharusnya tak terjadi. Kami saling
menginginkan. Dan akhirnya menjalin hubungan cinta terlarang. Terlarang
karena statusku yang suami orang.
Entahlah..saat
itu aku benar-benar kebablasan. Padahal pada dasarnya aku bukan lelaki
yang 'nakal'. Dalam arti kata aku termasuk lelaki yang tak suka main
perempuan. Aku tak pernah tinggal sholat bahkan saat bersamanya aku tak
pernah melupakan sholat lima waktu. Sayangnya saat itu sholat ku belum
bisa menjadi penolongku dari perbuatan yang memalukan. Aku menyelingkuhi
istri ku yang setia.
Saat
menjalin hubungan dengan Mirah selalu saja aku menemukan
kekurangan-kekurangan istri ku. Seringkali kuceritakan pada Mirah. Dan
dengan bijak dia menasihati ku untuk bersabar dan jangan bosan membina,
menerima dan memahami kekurangan istri ku. Mirah memang berbeda dengan
perempuan kebanyakan.
Biasanya perempuan selingkuhan suka memanas-manasi
dan membuat hancur rumah tangga, tapi Mirah tidak. Dia malah selalu
ingin membuat rumah tangga ku tetap harmonis. Tak jarang dia marah pada
ku kalau aku lalai pada keluarga ku.
Setahun
aku menjalin hubungan cinta dengan Mirah. Bisa dibilang selalu dalam
keadaan baik-baik saja tak pernah bertengkar. Aku selalu bisa bersabar
setiap kali menghadapi emosi Mirah yang berubah-ubah. Setiap merasa ada
masalah kami membicarakannya baik baik. Kalau kami jarang bertemu kami
selalu berkomunikasi.
Kami bisa telponan berjam-jam ngobrol apa saja
tanpa membuatku meninggalkan pekerjaanku. Entah apa -apa yang kami
obrolkan sampai bisa berjam-jam. Karena Mirah selalu saja punya bahan
obrolan. Kebersamaan dengan Mirah membuatku sangat bahagia sebagai
lelaki hingga lupa ancaman dosa.
Daya tarik perselingkuhan ini sungguh
mempesona hingga sangat sulit untuk dihindari. Aku sungguh merasa
sempurna bersamanya. Hidupku terasa lengkap dengan kenyamanan yang
dihadirkan kekasihku Mirah. Satu persatu kenangan manis kami ukir
bersama sampai tiba masa akhirnya kami lelah merangkai dosa.
Mungkin
telah tiba saatnya sholat ku menjadi penolong ku. Tuhan menyentuhku
dengan cara yang manis. Menjadikan rasa malu sebagai pengingat agar aku
meninggalkan perbuatanku yang memalukan dan penuh dosa. Selalu saja aku
pulang dari pengajian rutin dengan rasa malu. Seolah-olah tausyiah yang
disampaikan guru mengaji kami sengaja menyindirku. Belum lagi saat
kumpul dengan teman-teman dan mereka menceritakan tentang perselingkuhan
yang terjadi di sekeliling mereka.
Duh rasanya seolah mereka tahu
perbuatanku. Bahkan saat membaca berita di koran tentang penggerebekan
pasangan selingkuh di hotel-hotel aku membayangkan betapa memalukan
kalau kejadian itu terjadi pada ku dan Mirah. Pokoknya banyak hal yang
membuatku pada akhirnya malu pada perbuatan kami.
Ditambah
pula pada suatu hari istri ku memergoki pesan yang dikirim Mirah
padaku. Sepandai pandai tupai melompat ada kalanya jatuh juga. Begitu
pepatah yang tepat buatku saat itu. Padahal biasanya aku rajin menghapus
setiap riwayat pesan ku dengan Mirah. Bahkan nama Mirah kuganti dengan
nama pria di kontak hp ku.
Tapi pagi itu saat aku sedang mandi istri ku
teriak : "siapa itu Sumirah?" teriakannya keras sampai anak-anak ku ikut
mendengarnya. Malamnya aku memang mengaktifkan email ku yang memuat
notifikasi dimana dalam notifikasi itu nama Mirah muncul berikut isi
pesannya yang memuat kata sayang. Padahal biasanya aku tak pernah
mengaktifkan email itu. Dan biasanya juga istriku tak pernah
mengutak-atik hp ku.
Malu sekali aku pada anak-anakku. Aku diam saja tak
menjawab. Aku tak ingin berbohong tapi juga tak ingin mengakuinya. Diam
ku diartikan oleh istri ku bahwa tuduhannya benar. Aku punya wanita
lain. Dia hanya mengomel sedikit lalu mendiamkan ku.
Setelah beberapa
hari akhirnya istri ku membuatku berjanji untuk berhenti berselingkuh.
Berjanji tidak lagi melanjutkan hubunganku dengan Sumirah yang mengirim
pesan pada ku itu.
Aku
memberitahu Mirah kejadian itu. Dia menyarankan agar kami untuk
sementara waktu jangan kontak dulu sampai kemarahan istri ku reda dan
kekacauan dalam rumah tangga ku dibenahi. Dia cukup bijak untuk menahan
kerinduannya demi menjaga hubungan ku dengan istri. Sejak saat itu aku
memang jadi jarang berkomunikasi dengannya.
Dan dia dengan sabar
menungguku. Sampai akhirnya dia merasakan sesuatu yang berbeda dari
sikapku. Dia bertanya apa aku sengaja menghindarinya. Dan apakah aku
membuat janji pada istriku untuk berhenti berhubungan dengannya.
Dengan
jujur ku akui bahwa hal itu benar. Dan kuceritakan pula tentang
kegalauan ku atas dosa-dosa yang pernah kami lakukan. Tentang betapa
malunya aku atas tamparan tausyiah dan teguran teman-teman di masjid
yang menanyakan jarang hadirnya aku dalam saf-saf subuh.
Dan
syukurlah Mirah mengerti. Dia juga bilang seringkali merasakan
kegalauan yang sama. Malu pada dosa-dosa yang bertopeng atas nama cinta.
Akhirnya kami sepakat mengakhiri hubungan kami.
Sepakat bahwa jika
benar kami saling mencintai maka kami harus mengakhiri rangkaian dosa
ini dan kembali ke jalan yang benar. Menjadikan sholat sebagai pelindung
kami dari perbuatan dosa. Aku ingat Mirah pernah berkata, Mas No rajin
sholat tapi kok Mas No tetap melakukan dosa bersama ku? kenapa sholat
Mas No itu tidak membuat Mas terhalang dari berzinah? Memang saat itu
sholatku belum berhasil menolongku tapi pada akhirnya dengan tetap
bersama Tuhan aku bisa kembali ke jalan yang lurus. Alhamdulillah.
Aku
memang tak bisa melupakan cintaku pada Mirah. Tapi aku berhasil
berdamai dengan keinginanku untuk bersamanya. Setiap kali aku tergoda
untuk kembali menjalin kasih dengannya aku ingat baik -baik
kata-katanya, bahwa dulu kami memulai hubungan karena nafsu sekarang
kami mengakhirinya karena cinta.
Kalau aku benar-benar mencintainya
dengan tulus aku harus berhenti mengajaknya berbuat dosa. Dan jika dia
mencintaiku dengan tulus dia tak kan membuat rumah tanggaku berantakan
dan membuatku dikejar rasa bersalah. Terus terang aku belum sanggup
beristri dua. Karena beban tanggung jawab yang tidak ringan.
Aku bukan
orang yang bisa menganggap sepele masalah tanggung jawab beristri dua.
Aku khawatir tidak bisa bersikap adil baik secara moril maupun materil.
Lagi pula aku berfikir jika Tuhan mengijinkan aku berjodoh dengan Mirah
Dia akan memudahkan ku. Dan jika ternyata akhirnya kami berpisah aku
yakin itu juga atas ijin Allah dan Allah menghendaki seperti itu akhir
kisahku dengan Mirah.
Perpisahan
kami ternyata juga bukan hal yang mudah bagi Sumirah. Beberapa kali dia
menyatakan tak sanggup kahilanganku meski beberapa saat kemudian
kembali mengukuhkan niatnya menjauhiku demi cinta. Dia bilang masih
sering menangisi ketiadaanku dalam hari-harinya.
Kadangkala aku jadi tak
tega dan rasanya ingin ku berlari memeluknya saat dia terlihat begitu
rapuh. Setiap kali itu terjadi aku hanya bisa istighfar dan mengalihkan
perhatianku dengan banyak menyibukkan diri pada pekerjaan.
Menenggelamkan diriku dalam pengajian-pengajian dan bersembunyi
disekitar orang-orang sholeh.
Bukan hal mudah bagiku untuk menahan
godaan untuk kembali bersamanya. Aku bertahan mengobati hati ku dengan
sholat malam, banyak berzikir, berpuasa, membaca Quran dan berkumpul
dengan orang-orang sholeh. Membenahi lagi sholatku agar senantiasa mampu
menjadi penolong, menjagaku dari melakukan perbuatan dosa dan
memberikan penghiburan bagi hati ku. Semoga Allah memberkati.