QBeritakan.com - Oleh_Prasetyo
"Nggak usah buru-buru, mas. Santai saja" katanya.
Santai sih..tapi ribuan kata sudah bergumpal-gumpal di kepala. Sudah seperti benang kusut yang minta diurai. Berantakan. Sungguh berantakan, berjejal-jejalan. Seolah baru selesai mentransfer semua energi negatif dalam jiwanya, Nhuii malah terlihat santai dan tenang. Senyum dan tawanya tetap lepas dan riang. Ah, senyum itu, siapa sangka dibaliknya ada kisah hidup yang sungguh menyedihkan.
Bapak
ibunya meninggal dalam musibah tsunami Aceh 2004. Begitu juga keluarga
besarnya yang saat itu tengah mempersiapkan perhelatan pernikahannya.
Dan suami yang baru beberapa jam dinikahinya ditemukan tersangkut di
dahan pohon dalam keadaan membusuk.
Tak tahan aku membayangkannya. Aku bangkit dan mengajaknya pulang menyudahi makan malam romantis yang berakhir dengan sangat tidak romantis. "Yuk ah kita pulang saja" ajakku sambil menggapai lengannya. "Iya, besok kita mesti kumpul pagi-pagi kan dan gowes seharian. Jangan begadang malam ini" katanya masih dengan wajah riangnya itu.
Aku mengantarkan Nhuii ke mess tempatnya menginap dan bergegas pulang. Sampai
di rumah istriku membukakan pintu dengan wajah mengantuk. Aku masuk
saja tanpa berkata apa-apa. Dia juga tak bicara dan kembali tidur seolah
dia orang asing yang bertugas membukakan pintu tanpa pernah ingin tahu
dari mana dan apa yang kulakukan.
Bukannya tidur aku malah sibuk menyiapkan isi ranselku untuk gowes besok dan koper untuk kembali ke Bogor malamnya. Di kepalaku masih terbayang cerita Nhuii. Terbayang derasnya banjir yang menyapu kotanya dan mayat-mayat bergelimpangan tertutup lumpur. Kucoba meresapi perasaan Nhuii saat itu.
Pagi-pagi
sekali aku sudah tiba di Sekretariat komunitas sepeda dan membantu
persiapan tour bike kami hari ini. Celoteh teman-teman peserta gowes
ampuh membangkitkan semangat pagi ku. Sesi foto-foto sudah dimulai untuk
dokumentasi dan sekalian ajang narsis.
Hari
ini kami bersepeda menelusuri dinginnya aspal dengan pemandangan misty
gunung Tanggamus. Jatuh bangun di kubangan lumpur jalan setapak menuju
Air terjun Way Lalaan. Menyeruak di sela belukar yang menutupi jalan
yang sepertinya lama tak terpakai karena sudah ada trek baru menuju
kesana yang bisa dilalui mobil. Kami sengaja menempuh trek yang lama
menuju sisi lain karena lebih menantang.
Dan
setelah satu jam lebih bersepeda kami tiba di air terjun Way Lalaan
yang terletak di Desa Pekon Kampungbaru, Kecamatan Kotaagung Timur,
Kabupaten Tanggamus, Propinsi Lampung. Dengan peta dan Koordinat GPS: 5°
29' 6.86" S 104° 41' 24.90" E (sumber : Google ).
Masih dengan baju basahnya Nhuii menghampiriku di shelter. Meraih handuk disebelahku dan mengeringkan tubuhnya.
"Kok nggak mandi mas?" tanyanya. "Rugi lho jauh-jauh datang kesini gak pakai nyebur"
"Nanti" jawabku singkat.
Kuambil gitar yang dibawa Fuad dan menyetel senarnya yang agak fals. Nhuii duduk disampingku dan mulai menyanyi.
Kuambil gitar yang dibawa Fuad dan menyetel senarnya yang agak fals. Nhuii duduk disampingku dan mulai menyanyi.
Sepanjang kita masih terus begini
Takkan pernah ada damai bersenandung Kemesraan antara kita berdua Sesungguhnya keterpaksaan sajaSenyum dan tawa hanya sekedar saja Sebagai pelengkap sempurnanya sandiwara...
Belum
habis lagu 'Kucari jalan terbaik' nya Pance F Pondaag itu
dinyanyikannya pikiranku sudah melayang kemana-mana. Teringat kisah
hidupku sendiri yang sangat mirip dengan lagu itu. Rasanya jadi pingin
nangis tapi malu. Jadi aku menangis saja dalam hati. Semoga tak ada yang
mengintip.
"Heii!!! kok malah melamun sih maaas" Nhuii menepuk bahuku. Aku tersenyum malu.
"Katanya mau gantian cerita. Aku sudah cerita kisah hidupku. Mana kisah hidupmu yang katanya menyedihkan itu?"
"Nggak jadi ah, Nhuii" elakku.
"Aaah mas Harrie curaaaang" teriaknya memukuli bahuku. Lagi-lagi aku hanya tertawa terbahak-bahak.
Kisah hidupku baru saja kau nyanyikan, Nhuii. Bisikku dalam hati. Hidup berumah tangga dengan perempuan yang tak pernah kucintai. Bertahun-tahun kutunggu rasa itu tapi hingga kini tak pernah tumbuh juga.
Tak benar pepatah jawa yang mengatakan cinta tumbuh karena seringnya bertemu. Setidaknya itu tidak terjadi padaku. Justru yang benar adalah kata-kata Kahlil Gibran bahwa 'cinta adalah keterpautan jiwa, jika itu tak pernah ada maka cinta tak kan pernah tercipta dalam hitungan tahun bahkan abad'.
Kalaupun
kami saat ini masih bersama itu hanya keterpaksaan saja. Kami lebih
banyak hidup terpisah. Aku sering berpindah tugas ke luar kota dan dia
lebih suka tinggal di rumah kami di Lampung. Sesekali aku pulang itupun
hanya untuk urusan kantor atau bersepeda dengan komunitas sepedaku.
Kalau bertemu pun kami tak pernah lagi saling bicara bahkan hanya untuk
sekedar bertukar kabar.
Kami
sudah terlalu lelah bertengkar tapi tetap tak bisa memilih perceraian
sebagai jalan keluar dan memilih zona aman seperti sekarang. Tidak
saling ganggu dan tidak saling perduli. Aku memenuhi kewajiban sebagai
kepala rumah tangga dengan mencari nafkah. Dia menjalankan kewajibannya
sebagai ibu rumah tangga yang mengurus rumah, atau sebagai pendamping di
pesta, dan istri di mata masyarakat saja, selebihnya kami hidup
sendiri-sendiri seperti tak pernah saling mengenal. Entahlah...hidup
macam apa ini.
Aku
malu mengisahkannya padamu Nhuii. Biar saja kujalani kisah ini
sembunyi-sembunyi. Ternyata beban hidupmu jauh lebih berat. Tapi kamu
tetap bersemangat, optimis, tak pernah mengeluh dan selalu bahagia. Jiwa
mu tetap hangat bersahabat. Maaf juga, aku masih belum bisa menuliskan
kisahmu. Kita pending saja dulu ya Nhuii. Aku masih harus banyak belajar
padamu tentang bagaimana caranya menjalani jalan terbaik yang kupilih
ini.. hidup dengan selalu penuh rasa syukur.